PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH :
MELALUI KEARIFAN LOKAL[1]
Oleh:
L.R.Retno Susanti[2]
ABSTRAK
Sejarah
memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan,
pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang
mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Melalui pertukaran pikiran itu
kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa
itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga
perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka. Oleh karena itu
pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan
landasan konstitusional UUD 1945. Tantangan saat ini dan ke depan
bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu
kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan
yang berbasis karakter di sekolah menjadi sangat penting dan strategis
dalam rangka membangun bangsa ini. Kearifan lokal dapat berfungsi
sebagai salah satu sumber nilai-nilai yang luhur bagi maksud tersebut.
Dengan kata lain, kearifan lokal bisa menjadi sumur yang tak kunjung
kering di musim kemarau panjang, nilai-nilai kebijaksanaan bagi
perwujudan cita-cita bangsa yang seimbang, baik secara lahiriah maupun
batiniah. Di samping berfungsi sebagai penyaring bagi nilai-nilai
berasal dari luar, kearifan lokal dapat juga digunakan untuk meredam
gejolak-gejolak yang bersifat intern. Misalnya konflik masyarakat yang
sesuku atau antarsuku. Upaya promosi nilai-nilai luhur dalam kebudayaan
tertentu secara formal akan menimbulkan apresiasi dan rasa bangga
terhadap nilai-nilai tersebut. Dengan demikian akan timbul semangat yang
kuat untuk menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh
karenanya tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba menguraikan bagaimana
membangun pendidikan karakter di sekolah melalui kearifan lokal.
I. PENDAHULUAN
Pendidikan
karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi
bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter
inipun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan
Indonesia Emas 2025. Dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selanjutnya pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal dapat
saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur
pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya
memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan
pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7
jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik
berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek
kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30%
terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama
ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum
memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan
pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang
tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik
anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar,
dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif
terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah
satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui
pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan
pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di
sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu
dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama
dalam pembentukan karakter peserta didik .
Dengan
demikian jelas sekali bahwa fungsi dan tujuan pendidikan di setiap
jenjang berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga
mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan
masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian di Harvard
University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata
kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan
kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill.
Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik
sangat penting untuk ditingkatkan. Karakter merupakan nilai-nilai
perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Oleh karena itu Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Prof.dr.Fasli Jalal, Ph.D Pada tanggal 1 Juni 2010 dalam acara Rembuk
Nasional dengan tema “ Membangun Karakter Bangsa dengan Berwawasan
Kebangsaan”. yang digelar di Balai Pertemuan UPI ini, dan dibidani oleh
Pusat Kajian Nasional Pendidikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan UPI
Bandung, mengungkapkan arti penting pendidikan karakter bagi bangsa dan
negara. Beliau menjelaskan bahwa pendidikan karakter sangat erat dan
dilatar belakangi oleh keinginan mewujudkan konsensus nasional yang
berparadigma Pancasila dan UUD 1945. Konsensus tersebut selanjutnya
diperjelas melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang berbunyi “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokrasi serta bertanggung jawab.”
Dari
bunyi pasal tersebut, Wamendiknas mengungkapkan bahwa telah terdapat 5
dari 8 potensi peserta didik yang implementasinya sangat lekat dengan
tujuan pembentukan pendidikan karakter. Kelekatan inilah yang menjadi
dasar hukum begitu pentingnya pelaksanaan pendidikan karakter.
Wamendiknas pun mengatakan bahwa, pada dasarnya pembentukan karakter itu
dimulai dari fitrah yang diberikan Ilahi, yang kemudian membentuk jati
diri dan prilaku. Dalam prosesnya sendiri fitrah Ilahi ini sangat
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga lingkungan memilki peranan
yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan prilaku. Oleh karena itu
Wamendiknas mengatakan bahwasanya sekolah sebagai bagian dari
lingkungan memiliki peranan yang sangat penting. Wamendiknas
menganjurkan agar setiap sekolah dan seluruh lembaga pendidikan memiliki
school culture , dimana setiap sekolah memilih pendisiplinan
dan kebiasaan mengenai karakter yang akan dibentuk. Lebih lanjut
Wamendiknas pun berpesan, agar para pemimpin dan pendidik lembaga
pendidikan tersebut dapat mampu memberikan suri teladan mengenai
karakter tersebut.
Wamendiknas
juga mengatakan bahwa hendaknya pendidikan karakter ini tidak dijadikan
kurikulum yang baku, melainkan dibiasakan melalui proses pembelajaran.
Selain itu mengenai sarana-prasaran, pendidikan karakter ini tidak
memiliki sarana-prasarana yang istimewa, karena yang diperlukan adalah
proses penyadaran dan pembiasaan.
PENDIDIKAN KARAKTER
Secara
historis-geneologis, pencetus pendidikan karakter yang menekankan
dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog
Jerman FW Foerster (1869-1966). Ada empat ciri dasar dalam pendidikan
karakter menurut Foerster. Pertama, keteraturan interior dengan setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua,
koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada
prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut
risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama
lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga,
otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai
menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Itu dapat dilihat lewat penilaian
atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh oleh atau desakan dari pihak
lain. Keempat,
keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna
mengingini apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi
penghormatan atas komitmen yang dipilih. Karakter itulah yang menentukan
bentuk seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Selain itu pula pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku
pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu
sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku
warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character
education is the deliberate effort to help people understand, care
about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of
character we want for our children, it is clear that we want them to be
able to judge what is right, care deeply about what is right, and then
do what they believe to be right, even in the face of pressure from
without and temptation from within”.
Lebih
lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang
dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru
membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan
bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi,
bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki
esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan
akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia
yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun
kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga
negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum
adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai,
yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa
Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Oleh
karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil
Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia
memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan
tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk
berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika
merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini
menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi
keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial
budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka
Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.
Dari
mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari
pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal
dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu
menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh
karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter
menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini.
Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari
pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.
MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH MELALUI KEARIFAN LOKAL
Sejarah
menunjukkan, masing-masing etnis dan suku memiliki kearifan lokal
sendiri. Misalnya saja (untuk tidak menyebut yang ada pada seluruh suku
dan etnis di Indonesia), suku Batak kental dengan keterbukaan, Jawa
nyaris identik dengan kehalusan, suku Madura memiliki harga diri yang
tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletan. Lebih dari itu,
masing-masing memiliki keakraban dan keramahan dengan lingkungan alam
yang mengitari mereka. Kearifan lokal itu tentu tidak muncul
serta-merta, tapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu
mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Keterujiannya dalam sisi ini
membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada
kehidupan masyarakat. Artinya, sampai batas tertentu ada nilai-nilai
perenial yang berakar kuat pada setiap aspek lokalitas budaya ini.
Semua, terlepas dari perbedaan intensitasnya, mengeram visi terciptanya
kehidupan bermartabat, sejahtera dan damai. Dalam bingkai kearifan lokal
ini, masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang
lain.
Masyarakat
Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jati diri mereka
melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya
mereka. Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak
makna substantif kearifan lokal. Sebagai misal, keterbukaan dikembangkan
dan kontekstualisasikan menjadi kejujuran dan seabreg nilai
turunannya yang lain. Kehalusan diformulasi sebagai keramahtamahan yang
tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi; dan
demikian seterusnya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu
dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga
menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku
atau masyarakat tertentu. Untuk itu, sebuah ketulusan, memang, perlu
dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk
mengakui kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang
egoisme, keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas
dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan perlu menjadi
garda depan, bukan dalam ucapan, tapi dalam praksis konkret untuk
memulai. kearifan lokal yang digali, dipoles, dikemas dan dipelihara
dengan baik bisa berfungsi sebagai alternatif pedoman hidup manusia
Indonesia dewasa ini dan dapat digunakan untuk menyaring nilai-nilai
baru/asing agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa dan menjaga
keharmonisan hubungan manusia dengan Sang Khalik, alam sekitar, dan
sesamanya (tripita cipta karana). Dan sebagai bangsa yang besar
pemilik dan pewaris sah kebudayaan yang adiluhung pula, bercermin pada
kaca benggala kearifan para leluhur dapat menolong kita menemukan posisi
yang kokoh di arena global ini.
Persoalannya
adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun
pendidikan karakter di sekolah? Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi
budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun pendidikan
karakter. Hal ini dikarenakan kearifan lokal di daerah pada gilirannya
akan mampu mengantarkan siswa untuk mencintai daerahnya. Kecintaan siswa
pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah
adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya
untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan
jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan
alam secara bijaksana.
Dalam
konteks tersebut di atas, kearifan lokal menjadi relevan. Anak bangsa
di negeri ini sudah sewajarnya diperkenalkan dengan lingkungan yang
paling dekat di desanya, kecamatan, dan kabupaten, setelah tingkat
nasional dan internasional. Melalui pengenalan lingkungan yang paling
kecil, maka anak-anak kita bisa mencintai desanya. Apabila mereka
mencintai desanya mereka baru mau bekerja di desa dan untuk desanya.
Kearifan lokal mempunyai arti sangat penting bagi anak didik kita.
Dengan mempelajari kearifan lokal anak didik kita akan memahami
perjuangan nenek moyangnya dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.(http://koleksi-skripsi.blogspot.com/2008/07/teori-pembentukan-karakter.html.).
Nilai-nilai kerja keras, pantang mundur, dan tidak kenal menyerah perlu
diajarkan pada anak-anak kita. Dengan demikian, pendidikan karakter
melalui kearifan lokal seharusnya mulai diperkenalkan oleh guru kepada
para siswanya. Semua satuan pendidikan siswanya memiliki keberagaman ras
maupun agama, dapat menjadi laboratorium masyarakat untuk penerapan
pendidikan karakter. Proses interaksi yang melibatkan semua pihak dalam
kearifan lokal sama saja mempelajari karakteristik dari materi yang
dikaji sehingga siswa secara langsung dapat menggali karakter peristiwa
kelokalan itu.
Oleh
karenanya kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal
berupa tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup (Pikiran Rakyat, 4 Oktober 2004).
Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri
dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti
setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka
local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai,
pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya. Dengan demikian membangun pendidikan karakter disekolah
melalui kearifan lokal sangatlah tepat. Hal ini dikarenakan Pendidikan
berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik
untuk selalu dekat dengan situasi konkrit yang mereka hadapi
sehari-hari. Model pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan sebuah
contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi kecakapan
pengembangan hidup, dengan berpijak pada pemberdayaan ketrampilan serta
potensi lokal pada tiap-tiap daerah. Kearifan lokal milik kita sangat
banyak dan beraneka ragam karena Indonesia terdiri atas bermacam-macam
suku bangsa, berbicara dalam aneka bahasa daerah, serta menjalankan
ritual adat istiadat yang berbeda-beda pula. Kehadiran pendatang dari
luar seperti etnis Tionghoa, Arab dan India semakin memperkaya
kemajemukan kearifan lokal.
Pendidikan
berbasis kearifan lokal dapat digunakan sebagai media untuk
melestarikan potensi masing-masing daerah. Kearifan lokal harus
dikembangkan dari potensi daerah. Potensi daerah merupakan potensi
sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah tertentu. Para siswa
yang datang ke sekolah tidak bisa diibaratkan sebagai sebuah gelas
kosong, yang bisa diisi dengan mudah. Siswa tidak seperti plastisin yang
bisa dibentuk sesuai keinginan guru. Mereka sudah membawa nilai-nilai
budaya yang dibawa dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Guru yang
bijaksana harus dapat menyelipkan nila-nilai kearifan lokal mereka
dalam proses pembelajaran. Pendidikan berbasis kearifan lokal tentu akan
berhasil apabila guru memahami wawasan kearifan lokal itu sendiri. Guru
yang kurang memahami makna kearifan lokal, cenderung kurang sensitif
terhadap kemajemukan budaya setempat. Hambatan lain yang biasanya muncul
adalah guru yang mengalami lack of skill. Akibatnya, mereka kurang
mampu menciptakan pembelajaran yang menghargai keragaman budaya daerah.
PENUTUP
Berdasarkan
uraian di atas dapat dikemukakan bahwa membangun pendidikan karakter di
sekolah melalui kearifan lokal mengandung nilai-nilai yang relevan dan
berguna bagi pendidikan. Oleh karena itu pendidikan karakter berbasis
kearifan lokal dapat dilakukan dengan merevitalisasi budaya lokal.
Untuk mewujudkan pendidikan karakter disekolah berbasis kearifan lokal
memerlukan adanya pengertian, pemahaman, kesadaran, kerja sama, dan
partisipasi seluruh elemen warga belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Blum,
Lawrence A.. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas
Antar-Ras” Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat
Multikultural”, dalam L. May, S. Collins-Chobanian, dan K. Wong, editor,
Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi
Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat
dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah.
http://pangasuhbumi.com/article/20582/pemulihan-lingkungan-dengan-kearifan-lokal.html
http://tal4mbur4ng.blogspot.com/2010/07/kearifan-lokal-guna-pemecahan-masalah.html
http://tal4mbur4ng.blogspot.com/2010/07/kearifan-lokal-guna-pemecahan-masalah.html
Kartodirdjo, Sartono. 1994a. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1994b. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-11. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Aksara Baru.
Sedyawati, Edi. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan
dalam Budaya: Buku 2 Dialog Budaya Nasional dan Etnik, Peranan Industri
Budaya dan Media Massa, Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Smiers, Joost. 2009. Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insistpress.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar